Saat ini perkembangan teknologi digital telah merambah ke segala aspek kehidupan masyarakat, tak terkecuali dalam dunia penyiaran televisi. Digitalisiasi siaran televisi ini memberikan manfaat lebih dibanding sistem siaran analog, diantaranya kualitas gambar dan suara yang lebih baik, ketahanan terhadap gangguan dan efisiensi kanal yang tinggi. Sistem siaran digital telah dikembangkan di banyak negara maju dengan bermacam standar tersendiri. Salah satu standar yang cukup populer di Eropa dan negara-negara lain adalah standar DVB (Digital Video Broadcasting). Data digital yang digunakan dalam standar DVB merupakan data terkompresi dalam format MPEG-2. Pemilihan format kompresi ini dilandasi pertimbangan karena kualitas kompresi yang baik dan dari sudut pandang komersial juga menguntungkan. Disamping itu format MPEG-2 juga telah menjadi standar dalam sistem video digital di dunia seperti dalam format DVD.
Sebagai sistem yang open-source, DVB telah mengalami banyak proses penyempurnaan dan selanjutnya terbagi atas beberapa katagori disesuaikan akan kebutuhan. Saat ini salah satu pengembangan DVB yang menarik adalah penggunaan standar DVB dalam penyiaran televisi digital terrestrial (DVB-T) dan hand-held (DVB-H).
DVB-T lebih dikenal dengan siaran televisi digital menjadi standar yang banyak dipakai di dunia dan juga tengah diadaptasi di Indonesia karena beberapa kelebihannya, terutama karena kehandalan DVB-T yang mampu mengirimkan sejumlah besar data pada kecepatan tinggi secara point-to-multipoint. Sistem DVB-T, merupakan sistem penyiaran langsung dari pemancar bumi (terrestrial) ke pemirsa di rumah. Fungsi pemancar bumi adalah untuk mentransmisikan data digital MPEG-2 yang telah dimodulasi menjadi gelombang VHF/UHF untuk dipancarkan menggunakan antena pemancar. Sistem modulasi digital yang dipakai dalam sistem DVB-T adalah modulasi OFDM (orthogonal frequency division multiplex) dengan pilihan tipe modulasi QPSK, 16QAM atau 64QAM. Dengan menggunakan sistem ini, bandwidth yang digunakan (sekitar 6 hingga 8 MHz) dapat menjadi efisien sehingga memungkinkan pemakaian satu kanal untuk beberapa konten. Pada unit penerima, dibutuhkan sistem penerima digital yang berupa set-top-box (STB) yang fungsinya menerima sinyal modulasi DVB-T dan mengolahnya sehingga siarannya dapat ditonton melalui televisi biasa. Perangkat STB ini bentuk dan fungsinya mirip seperti penerima satelit/dekoder (semacam milik Indovision atau Astro), hanya saja alat ini cukup dihubungkan ke antena biasa. Nantinya, rangkaian penerima pada televisi masa depan akan dapat langsung mengolah sinyal modulasi DVB-T sehingga tidak lagi dibutuhkan penerima STB terpisah. Sebagai catatan, meski sistem DVB-T tidak ditujukan untuk sistem penerima bergerak, namun kemampuan penerimaan DVB-T dalam kendaraan yang bergerak juga dimungkinkan meski memiliki keterbatasan.
Pengembangan dari DVB-T yang dikhususkan kepada penerima bergerak (mobile) selanjutnya dinamai DVB-H (handheld). Format baru ini kompatibel dengan DVB-T, namun lebih ditujukan kepada pengguna telepon seluler atau PDA agar dapat menerima siaran televisi digital pada perangkat mereka. Sistem DVB-H ini pada dasarnya bertujuan meningkatkan kemampuan penerimaan sinyal sehingga kondisi penerima yang sedang bergerak tidak mengalami gangguan. Penerima yang sedang bergerak akan mengalami efek Doppler terhadap posisi pemancar, oleh karena itu dibutuhkan sistem penerima yang memiliki gain lebih baik. Dalam pengujian pada penerima yang sedang bergerak, kekuatan sinyal penerimaan sistem DVB-H lebih baik daripada DVB-T. Namun perangkat mobile pada umumnya menggunakan baterai sehingga perlu dikembangkan teknologi yang dapat mengantisipasi masalah daya baterai. Untuk itu pada standar DVB-H diperkenalkan teknologi time-slicing, dengan cara mengatur setiap konten layanan ditransmisikan sesuai kebutuhan sehingga perangkat penerima hanya aktif pada saat konten tersebut dipancarkan. Hal ini ditujukan untuk penghematan baterai pada perangkat mobile penerima akibat beban kerja yang terus-menerus.
Sistem DVB-T dan DVB-H akan menjadi masa depan dari sistem penyiaran televisi, dengan kemungkinan penyempurnaan dalam layanan dan teknologi (nantinya akan lahir DVB-T2) sehingga manfaatnya makin dapat dirasakan oleh operator televisi dan pemirsanya. Namun untuk migrasi ke sistem ini, khususnya di Indonesia, masih terkendala mengingat investasi yang telah dilakukan oleh operator televisi pada sistem lama telah begitu besar. Belum lagi untuk dapat menerima siaran DVB-T, masyarakat harus membeli satu perangkat STB supaya dapat menerima siaran televisi digital di rumah (yang harganya mungkin belum tentu terjangkau oleh semua kalangan). Padahal migrasi ke sistem televisi digital seharusnya mutlak diperlukan, mengingat sumber daya frekuensi yang begitu terbatas, sementara sistem analog begitu besar dalam menempati alokasi kanal UHF. Belum lagi ‘antrian’ pemain baru siaran televisi (swasta maupun lokal) begitu panjang menantikan jatah alokasi kanal UHF yang kini telah penuh sesak.
0 komentar:
Posting Komentar